How I Got My Scholarship to Study Abroad

Masa-masa akhir kuliah adalah masa terberat dalam hidup. Bukan hanya karena skripsi, tapi juga karena kita harus memikirkan mau jadi apa setelah lulus. Sebagai anak ilkom, mencari pekerjaan bukan hal yang susah, apalagi kalau kuliah di ilkom IPB, employer would, literally, come to you, to hire you. What a wonderful world, right? I should’ve been paid by advertising this anyway. ;p

But, working in a company, staying in office from 9 to 5, was never my dream. Sejak awal, tujuan saya kuliah di ilmu komputer adalah supaya saya bisa kerja dari rumah dan tetap jadi ibu rumah tangga, atau kalaupun kerja, bukan kerja yang terlalu mengikat kayak dosen (bapak saya dosen, dan kerjanya santai banget. Kayak, saya bisa tiba-tiba dateng jam 1 terus ngajak pulang, terus bapak saya ngomong “oke bentar, tunggu selesai bimbing mahasiswa dulu”. Saya terinspirasi dari dosen saya, Pak Wisnu, yang berkata kurang lebih begini “Setiap laki-laki pasti ingin istrinya di rumah, makanya untuk perempuan, kalian cari pekerjaan yang gajinya besar tapi bisa dikerjain di rumah, kayak teman saya ada yang mengerjakan proyek bioinformatik dari luar negeri dan gajinya lebih besar dari suaminya tapi diem-diem aja dapet gaji berapa”. Those words motivated me so much.

Setelah saya searching2, saya pun mengambil kesimpulan bahwa saya butuh relasi internasional dan cara termudah untuk mendapatkannya adalah menjadi “manusia internasional”. Dosen fisika-cambridge saya pas SMA mendefinisikan manusia internasional sebagai manusia yang tinggal di luar negri, berintegrasi dengan manusia luar negeri, dan saat pulang ke Indonesia ia masih memiliki mindset internasional.

Yeah, saya pikir sekarang cukup banyak kesempatan buat kuliah di lur negeri, jadi, why not? Keinginan saya juga diperkuat dengan banyak alasan lain seperti saya ingin jadi dosen tapi saya mau jadi dosen yang tidak cuma menyampaikan materi kuliah tapi juga mentransfer passion dan value dengan kreatif. Saya juga ingin jadi dosen yang produktif dengan cara berkolaborasi dengan peneliti mancanegara. Dan tentunya alasan utama adalah untuk memperdalam ilmu saya di bidang bioinformatik dan aplikasi nya untuk tanaman obat. Maklumlah, saya pengen jadi dokter tapi bukan takdirnya jadi saya lumayan terobsesi dengan tanaman obat. Anyway, I predict bioinformatics is one of the next big things, contohnya, istrinya ceo google yang jadi founder perusahaan bioinformatik 23andme.com. #goals banget lah tuh dual income family.

Saya pun menyusun strategi dan tidak lupa untuk menuliskannya terus ditempel di tembok. Setiap ada progress, saya juga menuliskannya di tembok supaya terukur. Jadi, saya membaginya ke dalam 3 langkah: 1. Cari motivasi, 2. Cari kampus, 3. Cari beasiswa. Untuk tau lebih detailnya, silahkan lanjut membaca…

1. Cari Motivasi

Jujur, jadi mahasiswa tingkat akhir itu bagaikan udah berada di titik jenuh belajar. Bahkan saya sebagai orang yang senang belajar aja, masih mikir-mikir lagi, beneran gak nih masih mau lanjut sekolah. Saya menganalisis pemikiran saya, apa yang membuat saya ragu untuk kuliah lagi dan ternyata hal itu adalah…. matkul2 yang berkaitan dengan software developing.  Saya lumayan trauma sama grup project. Oke, jadi saya mengeliminasi jurusan yang berhubungan sama hal itu.

Kemudian saya pas presentasi di ICACSIS, ngeliat riset2 bioinformatik dan kayaknya seru ya. Terus saya mikir lagi, selama kuliah saya sukaaa banget sama programming, data mining, statistics, dan biologi jadi saya pikir jurusan bioinformatics itu sempurna. Percaya atau enggak, saya udah tertarik sama bioinformatics dari SMP. Saat itu saya baca bukunya bu menkes “Saatnya Indonesia Berubah” dan disitu dibahas tentang data-data genomics virus flu burung dan mulai dari situ saya mencari tahu lebih banyak. Bahkan setelah masuk kuliah pun, saya masih kepikiran pengen masuk bioinformatics. Di bawah ini screen shoot pas semester 3, A: whina, B: saya, c: ihda. Btw, itu B di percakapan kedua bukan mikir, tapi saya emang suka tiba-tiba ngelamun kalo diajak ngobrol, because Man… I have this solid plan in my head that I’m gonna be a world class researcher, and this exciting (yet sometime painful) bachelor study is my preparation to reach that goal.

bioinf.JPG

Oke, sebelum lebih jauh, saya ingin menekankan bahwa pencarian motivasi itu penting karena pada tahap-tahap selanjutnya kita harus punya motivation letter buat dapet LoA. Selain itu saat wawancara beasiswa juga akan banyak ditanya tentang alasan ingin lanjut kuliah. Untuk menulis motivation letter tersebut, kita harus menggali ke dalam diri kita, dan melihat relevansi bidang yang ingin kita geluti dengan kebutuhan di masyarakat. [Kalau mau contoh motivation letter punya saya, silakan tulis email anda di komentar]

Karena saat itu saya belum ngerti apapun tentang bioinformatika, saya nanya-nanya ke pak Wisnu dan saya juga ikut diskusi grup bioinformatika. Saya juga baca paper2 supaya saya dapat inspirasi lebih banyak untuk menulis motivation letter tersebut. Sebenarnya nulis motivation letter itu gampang kok, rata-rata biasanya bahas impian masa kecil -> pengalaman riset/lomba/internship/skripsi -> pekerjaan -> manfaat untuk nusa bangsa. Tapi karena bidang yang saya ingin tekuni cukup baru buat saya, jadi saya harus lebih usaha buat mengelaborasi cerita saya.

Saya sempet mikir “seharusnya skripsi saya tentang bioinformatics aja” atau “coba pas kuliah saya lebih banyak baca jurnal, ikut ini itu” atau “kenapa saya ngga ngambil minor biologi molekuler”dan banyak berandai-andai yang lain. Padahal penyesalan macam itu ngga bermanfaat dan malah membuat kita tidak produktif. Setiap kali terlintas di benak saya pikiran macam itu, saya selalu ingat adegan Quinn Fabray ngomong ke dirinya sendiri: “Stop playing victim!”. Kita ga akan bisa mengubah masa lalu, tapi kita selalu bisa mengubah diri kita yang sekarang, untuk mengubah masa depan.

2. Cari Universitas

Pertimbangan saya dalam memilih universitas adalah: 1. Ranking 100 besar QS-THE, 2. Pendaftarannya nya ngga keluar duit, 3. Ada muslimah hizbut tahrir di negara itu (UK, Belanda, Denmark) jadi saya masih bisa ngaji . Saya pun daftar secara brute force ke semua univ yang memenuhi kriteria itu dan di semua univ itu saya diterima. Saya rasa, asalkan kita memenuhi syarat, insya Allah kita diterima. Saya inget, saya lupa ngedit nama universitas di motivation letter tapi masih tetep diterima. Universitas zaman sekarang itu menjadikan pendidikan sebagai bisnis, dan international student bayar biaya masuk jauh lebih tinggi dibanding mahasiswa lokal. Contohnya tuition fee di wur, anak belanda cukup membayar sekitar Rp 23 juta sementara mahasiswa international harus bayar Rp 223 juta, selisihnya Rp 200 juta. Mantep.

Salah satu persyaratan yang paling susah adalah IELTS. Walaupun saya ngga pernah kesusahan memahami bahasa inggris, saya tetap belum berani untuk langsung ngambil tes nya karena biayanya cukup mahal. Prediction test pertama saya dapat skor 7.0 untuk keseluruhan. Skor segitu lumayan baguslah, tapi skor writing nya sangat mengkahwatirkan karena cuma dapet 5.0, padahal syarat rata-rata univ itu, skor keseluruhan 6.5 dan masing-masing bagian tes 5.5. Ada juga univ yang syarat nya lebih tinggi misalnya oxbridge atau jurusan2 kedokteran, neuroscience, social science dll.

Cara belajar saya adalah banyak baca contoh essay dan baca sesuatu yang saya sukai yaitu quora.com. Saya juga banyak jawab pertanyaan di website itu supaya latihan menulis essay yang bagus. Saya sebenernya pengen ikut les IELTS,supaya bisa latihan speaking, dan ada yang mengoreksi untuk writing, tapi les IELTS rata-rata itu 3 bulan sementara saya cuma punya waktu satu bulan persiapan IELTS, karena saya harus ngikut deadline daftar universitas dan beasiswa.

Akhirnya untuk latihan speaking, saya ngajar bahasa inggris aja, lumayan lah, saya yang belajar saya yang dapet duit..

les

Saya juga ngajarin bahasa inggris buat temen-temen saya, for free. Saya sangat menghargai orang-orang yang mau berteman dengan saya, karena saya orang yang aneh.

Supaya memperlancar ngomong bahasa Inggris, saya juga suka nonton tv series semacam Glee dan America’s Next Top Model. Saringannya emang harus mantep sih, kalo nonton dua acara tv itu, tapi saya seneng ngeliat cewe-cewe yang semangat berkompetisi nya tinggi.

“I’m here because I want it, because I beg for it. If anyone get in my way, I will gladly step on them” Kata salah satu kontestan.

Cewe-cewe itu mengingatkan saya akan diri saya sendiri. Saya bukan tipe orang yang merendah untuk meroket, kayak “gue rasa gue cuma beruntung bisa dapet beasiswa ini, gue sebenernya cuma nyoba2 daftar doang”. Nope, no, no.

Saya mah terus terang, “I want it for so long, I make a plan, and I strive to get it”.

Long story short, akhirnya saya dapet skor IELTS saya, terus saya langsung daftar-daftar ke universitas. Sesuai kronologis, saya daftar ke Glasgow (CS, data science, bioinformatics), Copenhagen (bioinformatics),  Wageningen (bioinformatics), Leiden (bioinformatics), Bristol (CS, AI), Edinburgh (Informatics, AI), Newcastle (Bioinformatics, computational neuroscience), TU Braunschweig (Internet technology), Warsaw (CS).  Saya daftar pertama banget itu glasgow dan copenhagen karena mereka pendaftarannya gampang, ga perlu pake motivation letter, jadi ga perlu mikir. Di Glasgow saya dapet beasiswa tapi cuma nanggung tuition fee, jadi beasiswa itu saya lepas.

Terus, kenapa akhirnya saya memilih Wageningen University?

dan Bagaimana saya dapat beasiswa?

Baca di sini ya https://adzkiasalima.wordpress.com/2021/02/10/tips-beasiswa-stuned/

26 thoughts on “How I Got My Scholarship to Study Abroad

  1. Ga sabar nungguin part 2 nya… suka pernyataan “saya bukan tipe yang merendah untuk meroket” hahaha. Baca tulisan ini memberikan semangat tersendiri buat saya yang baca ini di pagi hari bertemankan selimut karena kemalasan yang merajai diri. Let me guess… are you an awardee (i mean lpdp awardee)? Ga usah dijawab sih yang ini… biar nunggu part2 nya aja hehe.

    Like

  2. Salam kenal dek Adzkia…baca blognya jadi inget mimpi-mimpi masa muda dulu 🙂
    Menginspirasi sekali…
    Tolong buktikan sama bapak “Prof itu”, yg bilang, go get international experience, niscaya balik ke indonesia bakal jadi moderat, ga fanatik lagi (islamic fanatic -red)

    Like

  3. Great message from a great person, Thank you for sharing your life. you’ve been motivated me. “For being keep in forward we need efforts. efforts need sacrifice. But efforts never abused their result” keep sharing ms…

    Like

  4. Halo kak! aku banyak belajar dari tulisan Kakak di sini. Aku ingin sekali melanjutkan studi di Belanda. BTW aku juga IPB tapi angkatan 55 hehe. Boleh minta motivation letternya kak? tolong dikirim ke farhan_koko26@apps.ipb.ac.id aja kak, terima kasih banyak kak, semoga ilmunya berkah dan bermanfaat. 🙂

    Like

Leave a comment